Pendahuluan
Pertumbuhan bank syariah di
Indonesia saat ini sangat pesat, seiring dengan tumbuhnya pemahaman masyarakat
bahwa bunga dan modal yang hasilnya telah ditentukan dimuka adalah merupakan
riba yang dilarang oleh syariah Islam. Atas dasar pemahaman seperti ini, maka
sejak 1950, telah banyak para cendikiawan muslim dan teoritisi ekonomi Islam
yang menghendaki keberadaan bank yang terbebas dari bunga atau riba.
Praktik bisnis yang kini
dilaksanakan dan senantiasa bersandar pada kontrak bisnis syariah belum
sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini antara lain, terjadi
pada kontrak pembiayaan syariah yang diselenggarakan oleh lembaga perbankan
syariah. Tidak dipenuhinya prinsip-prinsip syariah dalam kontrak-kontrak
pembiayaan pada perbankan syariah ini tentunya harus dilihat secara
komprehensif, yakni meliputi pada tahapan pra kontrak (pre-contractual), pelaksanaan kontrak (contractual) dan pasca kontrak (post-contractual). Oleh karenanya, Islam dengan
tegas dan jelas mendorong sepenuhnya setiap subyek hukum yang terdiri dari
individu maupun badan ketika mengadakan berbagai kontrak (akad) agar hati-hati
dan senantiasa memperhatikan rukun dan syarat sahnya akad sebagaimana yang
ditentukan dalam hukum Islam.
Hal yang menarik dan senantiasa aktual untuk diperbincangkan, baik dalam tataran teori maupun praktisnya, yaitu problematika aspek jaminan dan lembaga jaminan dalam praktek perbankan syariah di Indonesia, yang konon tidak atau belum berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah itu sendiri. Penggunaan lembaga jaminan konvensional seperti hak tanggungan dan fidusia masih menjadi pilihan bagi bank-bank syariah. Syarat adanya jaminan (collateral) dalam pembiayaan syariah yang di-cover dengan menggunakan lembaga jaminan konvensional, kiranya patut dicermati bahkan di kritisi keberadaannya.
Praktik perbankan syariah di Indonesia menunjukan bahwa implementasi lembaga jaminan tidak atau belum berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. Lembaga jaminan konvensional seperti hak tanggungan dan fidusia masih menjadi primadona bagi bank-bank syariah. Syarat harus adanya suatu jaminan (collateral) dalam pembiayaan syariah diimplementasikan dengan begitu sumir; mencaplok secara begitu saja institut jaminan konvensional, padahal sistem ekonomi syariah sejak 14 abad lalu telah mengintrodusir suatu bentuk penjaminan atas transaksi non tunai, yaitu al-rahn.
Akad menjadi sesuatu yang penting dalam setiap
transaksi, termasuk akad/transaksi dalam bisnis syariah. Agar suatu perjanjian
mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat di hadapan Notaris. Karena itu,
setiap bisnis termasuk di dalamnya adalah bisnis syariah selalu membutuhkan
Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik sesuai dengan tugasnya
yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
berpengaruh pada instrumen lainnya, seperti lembaga notaris yang selama ini
terlibat dalam mengeluarkan surat keterangan hukum mengenai akad-akad bisnis
syariah. Agar suatu perjanjian mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat
di hadapan notaris, karena itu setiap bisnis syariah termasuk di dalamnya
adalah bisnis syariah selalu membutuhkan notaris sebagai pejabat yang membuat
akta otentik sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014.
Notaris oleh negara dilimpahi wewenang untuk
melaksanakan sebagian tugas negara di bidang hukum privat, berkenaan dengan
pelaksanaan akad-akad syariah, sering diminta untuk mengautentikkan hubungan
hukum para pihak. Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum,
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan,
perjanjian, penetapan dan peristiwa hukum yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris.
Bank sebagai lembaga keuangan,
memanfaatkan jasa hukum notaris dalam setiap perjanjian bisnis, seperti: akad
pembiayan, perjanjian kredit, termasuk perjanjian tambahannya yakni mengenai
pengikatan jaminan. Pada umumnya bank-bank konvensional lebih melibatkan
Notaris dalam pembuatan akta perjanjian / perikatan dibandingkan dengan bank
syariah. Namun demikian, saat ini bank-bank syariah sebagai subsistem dari
sistem perbankan nasional yang diatur secara khusus dalam UUPS juga menggunakan
jasa hukum notaris di dalam setiap kegiatan bisnisnya, terutama yang terkait
dengan Akta Akad Pembiayaan (AAP). Namun, hal yang perlu ditekankan disini
adalah produk-produk bank syariah menggunakan prinsip-prinsip dan asas-asas
hukum ekonomi syariah. Dengan kata lain, segala bentuk pencatatan perjanjian
bisnis yang dituangkan dalam akta notarisnya pun harus pula merujuk kepada norma-norma
hukum ekonomi syariah.
Notaris yang memformulasikan akad
pembiayaan syariah, diharapkan memperhatikan rukun dan syarat sahnya akad
sebagaimana ditentukan syariat Islam, klausula yang tercantum pada setiap pasal
akad syariah dapat dilihat konstruksi hukumnya telah sesuai atau tidak sesuai
dengan hukum kontrak syariah.
Notaris dalam memformulasikan akta akad perbankan syariah, harus memperhatikan hal yang diatur didalam Undang-Undang Jabatan Notaris, serta pentingnya pemahaman di bidang perbankan syariah. Peraturan khusus mengenai bentuk akta syariah atau klausul akta akad syariah (kontrak) belum ada sampai sejauh ini. Pada prakteknya, akad yang dibuat antara pihak bank dan nasabah masih mengacu pada hukum positif, begitu juga akad pembiayaaan yang dibuat notariil. Bentuk akta akad syariah yang dibuat secara notariil agar dapat disebut sebagai akta otentik harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dari itu notaris dalam memformulasikan bentuk akta akad syariah wajib memperhatikan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam praktek, banyak Notaris yang membuat dan meresmikan akta akad syari’ah yang tidak memahami prinsip-prinsip syariah, ini terjadi terhadap Notaris yang sama