Minggu, 27 September 2020

 

Pendahuluan

 

Pertumbuhan bank syariah di Indonesia saat ini sangat pesat, seiring dengan tumbuhnya pemahaman masyarakat bahwa bunga dan modal yang hasilnya telah ditentukan dimuka adalah merupakan riba yang dilarang oleh syariah Islam. Atas dasar pemahaman seperti ini, maka sejak 1950, telah banyak para cendikiawan muslim dan teoritisi ekonomi Islam yang menghendaki keberadaan bank yang terbebas dari bunga atau riba.

 

Praktik bisnis yang kini dilaksanakan dan senantiasa bersandar pada kontrak bisnis syariah belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini antara lain, terjadi pada kontrak pembiayaan syariah yang diselenggarakan oleh lembaga perbankan syariah. Tidak dipenuhinya prinsip-prinsip syariah dalam kontrak-kontrak pembiayaan pada perbankan syariah ini tentunya harus dilihat secara komprehensif, yakni meliputi pada tahapan pra kontrak (pre-contractual), pelaksanaan kontrak (contractual) dan pasca kontrak (post-contractual). Oleh karenanya, Islam dengan tegas dan jelas mendorong sepenuhnya setiap subyek hukum yang terdiri dari individu maupun badan ketika mengadakan berbagai kontrak (akad) agar hati-hati dan senantiasa memperhatikan rukun dan syarat sahnya akad sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Islam.

 

Hal yang menarik dan senantiasa aktual untuk diperbincangkan, baik dalam tataran teori maupun praktisnya, yaitu problematika aspek jaminan dan lembaga jaminan dalam praktek perbankan syariah di Indonesia, yang konon tidak atau belum berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah itu sendiri. Penggunaan lembaga jaminan konvensional seperti hak tanggungan dan fidusia masih menjadi pilihan bagi bank-bank syariah. Syarat adanya jaminan (collateral) dalam pembiayaan syariah yang di-cover dengan menggunakan lembaga jaminan konvensional, kiranya patut dicermati bahkan di kritisi keberadaannya.

Praktik perbankan syariah di Indonesia menunjukan bahwa implementasi lembaga jaminan tidak atau belum berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. Lembaga jaminan konvensional seperti hak tanggungan dan fidusia masih menjadi primadona bagi bank-bank syariah. Syarat harus adanya suatu jaminan (collateral) dalam pembiayaan syariah diimplementasikan dengan begitu sumir; mencaplok secara begitu saja institut jaminan konvensional, padahal sistem ekonomi syariah sejak 14 abad lalu telah mengintrodusir suatu bentuk penjaminan atas transaksi non tunai, yaitu al-rahn.

Akad menjadi sesuatu yang penting dalam setiap transaksi, termasuk akad/transaksi dalam bisnis syariah. Agar suatu perjanjian mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat di hadapan Notaris. Karena itu, setiap bisnis termasuk di dalamnya adalah bisnis syariah selalu membutuhkan Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia berpengaruh pada instrumen lainnya, seperti lembaga notaris yang selama ini terlibat dalam mengeluarkan surat keterangan hukum mengenai akad-akad bisnis syariah. Agar suatu perjanjian mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat di hadapan notaris, karena itu setiap bisnis syariah termasuk di dalamnya adalah bisnis syariah selalu membutuhkan notaris sebagai pejabat yang membuat akta otentik sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

 

Notaris oleh negara dilimpahi wewenang untuk melaksanakan sebagian tugas negara di bidang hukum privat, berkenaan dengan pelaksanaan akad-akad syariah, sering diminta untuk mengautentikkan hubungan hukum para pihak. Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan dan peristiwa hukum yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

 

Bank sebagai lembaga keuangan, memanfaatkan jasa hukum notaris dalam setiap perjanjian bisnis, seperti: akad pembiayan, perjanjian kredit, termasuk perjanjian tambahannya yakni mengenai pengikatan jaminan. Pada umumnya bank-bank konvensional lebih melibatkan Notaris dalam pembuatan akta perjanjian / perikatan dibandingkan dengan bank syariah. Namun demikian, saat ini bank-bank syariah sebagai subsistem dari sistem perbankan nasional yang diatur secara khusus dalam UUPS juga menggunakan jasa hukum notaris di dalam setiap kegiatan bisnisnya, terutama yang terkait dengan Akta Akad Pembiayaan (AAP). Namun, hal yang perlu ditekankan disini adalah produk-produk bank syariah menggunakan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum ekonomi syariah. Dengan kata lain, segala bentuk pencatatan perjanjian bisnis yang dituangkan dalam akta notarisnya pun harus pula merujuk kepada norma-norma hukum ekonomi syariah.

 

Notaris yang memformulasikan akad pembiayaan syariah, diharapkan memperhatikan rukun dan syarat sahnya akad sebagaimana ditentukan syariat Islam, klausula yang tercantum pada setiap pasal akad syariah dapat dilihat konstruksi hukumnya telah sesuai atau tidak sesuai dengan hukum kontrak syariah.

 

Notaris dalam memformulasikan akta akad perbankan syariah, harus memperhatikan hal yang diatur didalam Undang-Undang Jabatan Notaris, serta pentingnya pemahaman di bidang perbankan syariah. Peraturan khusus mengenai bentuk akta syariah atau klausul akta akad syariah (kontrak) belum ada sampai sejauh ini. Pada prakteknya, akad yang dibuat antara pihak bank dan nasabah masih mengacu pada hukum positif, begitu juga akad pembiayaaan yang dibuat notariil. Bentuk akta akad syariah yang dibuat secara notariil agar dapat disebut sebagai akta otentik harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dari itu notaris dalam memformulasikan bentuk akta akad syariah wajib memperhatikan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam praktek, banyak Notaris yang membuat dan meresmikan akta akad syari’ah yang tidak memahami prinsip-prinsip syariah, ini terjadi terhadap Notaris yang sama

 sekali bukan seorang muslim dan hanya sekedar menerima order dari perbankan syariah yang bahkan tidak mengetahui sama sekali tentang rukun dan syarat sahnya akad berdasarkan syariah.

  Pendahuluan   Pertumbuhan bank syariah di Indonesia saat ini sangat pesat, seiring dengan tumbuhnya pemahaman masyarakat bahwa bunga...